Saturday, May 19, 2007

Prabumulih Butuh Mal?

Syam Asinar Radjam
Comic writer & Jurnalis lepas kelahiran Prabumulih. Bermukim di Jakarta.

Saat ini rencana pembangunan mal di prabumulih menghadapi persoalan klasik. Disambut baik oleh sebagian pihak, namun ditolak oleh sebagian pihak lain. Saya sendiri berpotensi menyambut baik jika satu atau banyak mal dibangun di kota kecil tempat saya dilahirkan itu.

Saya teringat pada satu pengalaman. Sekitar dua tahun lampau, saya mengajukan sebuah naskah (novel) ke Penerbit Gagas Media di Jakarta. Novel itu berkisah tentang seorang aktivis lingkungan dengan setting Prabumulih. Kebetulan naskah tersebut diperiksa oleh Moamar Emka, penulis Jakarta Under Cover. Sekitar 3 bulan kemudian, di Pisa Cafe, Jl. Gereja Theresia Menteng Jakarta saya bertemu dengan Emka. Novel saya ditolak. “Sorry banget, novelmu tidak berbau metropolis. Tidak ada diskotik, cafe, atau mal,” ujar Emka santai.

Seandainya nantinya dibangun sebuah mal di kota kecil berjarak 90 kilometer dari kota palembang itu, besar kemungkinan bagi saya untuk kembali menulis sebuah novel berlatar Prabumulih. Tentu saja dalam novel itu dapat menjadi lebih metropolis. Tentang para ABG (anak baru gede) kota minyak ini dengan segala aktifitasnya di mal. Apalagi dengan munculnya cafe-cafe dan diskotik, yang dapat diduga akan mengekor keberadaan mal.

Mundur ke masa yang sedikit lebih silam, seorang teman, pengusaha muda yang menjadi rekanan (supplier) Pertamina, pernah mengatakan, “setiap akhir pekan, kurang lebih 200 supplier berpelesir ke Palembang. Masing-masing paling tidak menghabiskan uang sebanyak 1 juta rupiah.”

Teman saya itu tidak merinci kemana uang tersebut dibelanjakan. Apakah ke mal atau ke pusat hiburan malam semisal diskotik atau cafe. Hanya saja ia memastikan bahwa uang itu dibelanjakan untuk jasa hiburan. Bukan untuk alat produksi.

Informasi tersebut tentu saja layak ditelisik bahkan dibantah kebenarannya. Bagi saya, ke sektor manapun alirannya tidak terlalu penting. Yang pasti jika itu pernyataan itu benar, maka 200 jutaan uang masyarakat Prabumulih dialirkan ke kota lain setiap pekan. Bayangkan jika dalam sebulan, atau setahun. Itu baru kebutuhan berpelesir sebagian amat kecil dari kelas menengah Prabumulih. Belum terhitung warga Prabumulih yang berbelanja di carefour, hypermart, pasar 16 ilir, atau pusat belanja lainnya di Palembang. Sekadar embel-embel, tidak sedikit yang bepergian membawa kendaraan sendiri dengan kebutuhan bensin paling tidak 30 liter pulang pergi.

Orang-orang Prabumulih tidak hanya membelanjakan uangnya ke ibukota Sumatra Selatan. Tidak sedikit dari mereka, yang datang dari kelas menengah, menggelontorkan uangnya sampai ke Jakarta bahkan Singapura. Barang yang dibelanjakan juga tidak melulu barang produksi, seperti para pedagang kain yang berbelanja di Pasar Tanah Abang, atau pedagang elektronik yang berbelanja di kawasan Glodok atau Mangga Dua. Melainkan juga barang untuk konsumsi. Beberapa pejabat publik dari kota kecil penghasil minyak ini, malah bepergian ke Jakarta hanya sekadar membeli tanaman hias atau perlengkapan memancing. Tentu, sembari melakukan kunjungan dinas.

Jadi, sebenarnya gagasan membangun sebuah pusat belanja berskala besar di Prabumulih, yang menyediakan semua barang kebutuhan warga kota ini, adalah sesuatu yang tidak buruk. Keberadaanya akan membuat perputaran uang masyarakat di dalam kota Prabumulih. Pada gilirannya, diharapkan dapat menggerakkan perekonomian kota ini. Tentu saja, ini berarti akan meningkatan pendapatan asli daerah (PAD). Artinya, sejalan dengan watak penguasa daerah di era otonomi daerah yang mengidap sindrom PAD-sasi yang menempatkan investor adalah segalanya.

Sudah jelas, tidak sedikit orang memandang rencana pembangunan mal adalah sebuah langkah positif. Salah satunya adalah pembaca web-blog dusunlaman yang saya kelola. Komentar-komentar senada juga saya dengar melalui percakapan dengan warga Prabumulih yang merantau ke Pulau Jawa. Banyak sekali warga prabumulih yang memimpikan mal itu segera berdiri. Mal adalah keniscayaan. Apalagi, dalam satir ke-indonesia-an, mal adalah ciri sebuah kota yang bergerak maju. Mutlak! Terlepas bahwa di kota-kota Eropa, di negeri kelahiran waralaba raksasa semacam Carefour justru konon tidak terdapat pusat perbelanjaan berskala mal sebagaimana ditemukan di banyak kota di Indonesia.

Meski banyak yang mengidamkan keberadaan mal di Prabumulih, tidak sedikit pula yang keberatan. Mereka adalah para pemilik ruko dan pedagang di pasar tradisional. Keberatan mereka beralasan. Sebab, rencana pendirian mal prabumulih yang akan dibangun oleh PT. Prabumulih Makmur, berhadapan muka dengan pasar tradisional (pasar inpres).

Sementara itu, pihak pemerintah kota (pemkot) tampaknya punya pandangan lain. Harian Sumatera Ekspress (21/12/06) memberitakan komentar Plt walikota prabumulih Yuri Gagarin. Yuri menyebutkan tidak ada masalah terkait rencana pembangunan mal di muka pasar tradisional. Dikuatkan pula oleh komentar Drs. Syahril Ibrahim, Asisten I walikota Prabumulih. Menurut Syahril masyarakat (prabumulih, penulis,-) tidak perlu khawatir dengan rencana tersebut. Katanya, “Karena pada prinsipnya masing-masing pasar punya pangsa pembeli tersendiri.”.

Sebelum lebih jauh berpolemik terhadap pro dan kontra, sebaiknya amati dulu fakta. Keberadaan pasar-pasar tradisional di Indonesia kini kian tergerus seiring munculnya pasar-pasar modern dalam kemasan mal, trade center, town square, atau apa pun namanya. Meminjam data sebuah penelitian, disebutkan kunjungan setiap rumah tangga ke pasar-pasar adalah sebanyak 22 kali per bulan. Jumlah uang yang dibelanjakan (untuk makanan, minuman, dan rokok saja) mencapai 112, 5 milyar dolar Amerika Serikat per tahun.

Dari jumlah tersebut, hanya 20 persen (2,4 milyar dolar AS) yang dibelanjakan ke pasar tradisional. Padahal jumlah pasar tradisional lipat tiga dari keseluruhan pasar modern yang ada di Indonesia.

Maka, sudah tentu pemkot Prabumulih haruslah menyadari bahwa keberadaan pasar modern adalah sebuah ancaman serius bagi pedagang tradisional di Prabumulih. Karena itu, persoalan ini patut mendapat perhatian penuh dari pihak pemerintah kota Prabumulih. Masukan dari kalangan pedagang — yang sebenarnya tidak menolak secara penuh — agar pembangunan mal digeser ke kawasan lain agar tidak mematikan penghidupan mereka, tentu bukan sesuatu yang boleh dinafikkan begitu saja.

* * *
banner8.gif