Wednesday, June 27, 2007

DIG IN! : Hanging on Pertamina's Promises At Prabumulih

The river Kelekar in Prabumulih, South Sumatera has acquired a new name. It is now also known as 'Kali Minyak', which means river of oil, a name given by new settlers coming into the area (mostly originating from Java). The new name is unsurprisingly suitable. It is nearly a century since the first oil exploration began in the area, thus it is hardly surprising that the flow of Kelekar river is now laden with crude oil (sludge) and water residue originating from oil processing operations by PERTAMINA.

The pollution of the Kelekar river system and its surrounding area by PERTAMINA Operation Exploration and Production II (now known as Upstream Operation Area/DOH) of Prabumulih had ignited a wave of protests from the Prabumulih community in early 2000.

In 1907 (the Dutch Indies era), oil mining was first started by BPM (De Bataafshe Petroleum Maatschappij), a private Dutch company. Later on, with the arrival the Japanese (1942), management of the oil wells changed hands. Next on the line was PT Shell that took over straight away after the Japanese defeat. Not until sometime in 1948, PERMINA took control of the wells. Then, in the 1950's, PERMINA gradually turned into PERTAMINA.

"We could only watch our suho gehedek (local tongue for natural wealth) taken away by the company (PERTAMINA), while what's left for us is only the excess (sludge)!" said a community member of Prabumulih village during several acts of protest in mid 2000 on the sludge dumping by PERTAMINA.

This statement was the result of a series of damages and impacts suffered by the community living along the Kelekar river system and its surrounding area. The pollution has caused the severe drop in water quality and the extinction of the river biota that had been abundant. In fact, the Prabumulih traditional calendar system confirmed this fact since it is used to mention a tradition called 'nanggok berdusun' among its list of events, which was a tradition where an entire village would get together and communally gathered fish from the river.

Furthermore, the waste also polluted the community's wells, destroyed local rice fields, and often seeped into community's rubber plantation, forest and 'Tanah Budal' (indigenous lands). The damages were worsened since the company's method in cleaning the river from oil was to burn it off by setting the river ablaze.

After protests made by communities and local organization (Solidarity for Prabumulih Environment) together with Walhi South Sumatra, Palembang Legal Aid Foundation, and IMPALM Foundation, PERTAMINA finally admitted their fault in polluting the river Kelekar and agreed to fulfill the 10 community's demands. The company has realized three of those demands during the course of year 2000 up to mid 2001.

These three demands are for the company to:

  1. Cease polluting Kelekar river,
  2. Provide clean water resources for the community (drilled wells, clean water tanks, well and clothes-washing area for community on the river bank).
  3. Support capacity development of local human resources (scholarships, training, course, etc).


    While the other 7 points, yet to be realized, are for the company to:
  1. Rehabilitate the Kelekar river system and catchment area,
  2. Reforestate the Kelekar river system and catchment area,
  3. Pay compensation for all damages done,
  4. Provide free Health Care Service for the local community,
  5. Apologize according to local traditions
  6. Build and renovate places of worship (mosques)
  7. Build and renovate the village hall.

Unfortunately, PERTAMINA has always considered all pollution caused by their activity in Prabumulih as past collective mistakes. They seemed to display lack of seriousness in following through with their commitment to stop polluting the river since several incidents of pollution still occurred even after the agreement was signed.

The community further urged the company to restore the environmental quality of the area and to acknowledge the community's rights on their natural resources by coming out with several demands, among others were:

  1. The implementation of strict liability and the restoration of PERTAMINA's production units so that the oil exploitation process will no longer cause grief and damages for the local community.
  2. Community should be given the opportunity to be fully involved in any decision making process of the company.
  3. Community is still waiting for the further understanding of the company's promises as agreed upon within the agreement by both parties.


WRITTEN BY: Syam Asinar Radjam (Coordinator of City Pollution Division of WALHI of South Sumatra), and Syamsul Bahri Radjam, SH (Staff of Natural Resources Division of Palembang Legal Aid Foundation, South Sumatera), 2001.
Tulisan ini dimuat pernah dimuat di KEREBOK (media kampanye berbahasa Inggris) Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Volume 3, Number 13, August 2001 dan Minergy News


Monday, June 25, 2007

Duku [bagian 2]

Duku [Bagian 2]
Cerita Pendek K. Usman

sebelumnya...


”Tapi, ng ng ng, kau tidak sayang pada anak kita. Mencari duku saja kau tidak mau. Belakangan kau sengaja pulang telat dari kantor, sampai aku jenuh sendiran di rumah, setelah Mbok Nah pulang ke rumahnya lepas magrib. Mana buktinya, kau menyayangi anak pertama kita?”

Kupikir, tidak perlulah melayani perempuan yang sedang sensitif. Lebih baik diam, atau keluar cari duku. Bagi Mimin saat ini, cari duku adalah bukti kasihku, sayangku, dan cintaku pada jabang bayi dalam rahimnya. Kini Mimin tidak menggnakan logika, atau akal sehat. Mungkin juga bawaan bayi. Bawaan bayi itu mungkin juga suatu mitos. Biarlah. Yang penting, dia menuntut bukti tanda kasih sayangku pada anak kami. Kuarih jaket kulit di gantungan. Kunci motor kukeluarkan dari laci lemari pakaianku.

”mau ke mana? Kabur, ya?” teriaknya pilu. ”Akan kau tinggalkan aku sendirian? Kau sudah bosan karena aku tidak cantik lagi? Karena aku tidak langsing lagi? Begitu?”

”Katamu minta duku?” jawabku kalem.

”Bukan aku yang minta, tapi anak kita, Bung Gindo!”

”Ya, anak kita. Aku akan keluar, cari duku.”

”Terpaksa atau ikhlas?”

”Mimin, masa, sih, terpaksa. Ada-ada saja kau ini. Ya, ikhlas, dong.”

Ketika motor sudah di halaman rumah, mesinnya kuhidupkan, agar panas. Kutanyakan pada Mimin, apakah pada saat ini sudah musim duku? Sebagai insinyur pertanian, dia mengerti benar kapan musim duku, atau musim buah lainnya.

”Duku itu berbunga antara bulan Desember sampai Januari,” jawabnya dengan pikiran jernih. ”Buah duku bermasakan pada bulan-bulan Maret, April, sampai Mei,” lanjutnya dengan pikiran cemerlang. Pantaslah dia lolos dulu dengan cumlaude.

”Sekarang apa sudah musim?” tanyaku.

Dia menggeleng pasti.

”Apa tidak mubazir kepergianku saat ini keliling kota mencari duku kalau memang tak musim?”

Wajahnya merengut lagi. Sensitifnya kambuh.

”Belakangan ini sering terjadi salah musim,” kilahnya. ”Mungkin karena dunia makin tua. Itulah sebabnya, pohon-pohon pun berbuah salah musim, yang lazim disebut buah sela. Hal itu akhir-akhir ini sering terjadi. Ramalan cuaca dari lembaga meteorologi dan geofisika pun sering meleset,” lanjutnya. ”Jadi, bukan tidak mungkin, di saat salah musim, duku, atau pohon-pohon buah-buahan lain berbuah.” Argumentasinya memang masuk akal. ”Kalau begitu, aku jalan, ya?”

”Ya, Sayang. Kancingkan dulu, dong, jaket kulitmu!” Mimin maju dan memasangka resliting jaket kulit bututku.

Begitu meninggalkan rumah-kecil-mungil kami di kawasan perumahan yang disebut ’kredit perumahan rakyat’ alias KPR, aku memeras otak. Kemana perburuan duku paling efisien di pagi buta begini?

Aku tahu dari pengalaman waktu muda, saat senang begadang sampai pagi, pukul tiga pasar-pasar tradisional sudah ramai. M,obil-mobil bermuatan sayuran dan buah-buahan datang dari berbagai penjuru, menyerbu pasar tradisional. Aku pun tahu, ada pasar swalayan yang buka 24 jam di kotaku. Ke sanalah aku memulai perburuan.

Bersambung...

Festival Sastra Tutur Sumatera Selatan 2007



Bagi para perantau Prabumulih, atau umumnya Sumatra selatan yang sedang menimbang-nimbang kapan baiknya pulang kampung, agaknya akhir bulan Agustus nanti adalah waktu tepat. Sebab, ada pergelaran yang sayang untuk dilewatkan. Festival Sastra Tutur 2007. Sebuah even budaya yang menampilkan keragaman sastra tutur atau sastra lisan dari berbagai suku dengan bahasa berbeda di Sumatra Selatan

Ini adalah kali kedua setelah festival sastra tutur 2004 yang diselenggarakan oleh Komunitas Batanghari Sembilan (Kobar 9) dan Majelis Seniman Sumsel (MSS). Sebagaimana dilansir dari harian Sumatra Ekspress, Vebri Al Lintani dari Kobar9 menyatakan, festival kali ini akan berbeda dibanding festival tiga tahun silam..

Bedanya, penampilan sastra tutur dari setiap daerah tidak seperti pertunjukan yang asli. Melainkan, telah dikemas (direvitalisasi) lebih menarik untuk ditonton masyarakat umum. Revitalisasi ini ditekankan pada pengolahan (improvisasi, kreativitas) bentuk penyajian dan fungsi.

Perbedaan lainnya, jika pada pergelaran tahun 2004 lalu tidak ada penilaian, maka tahun ini akan diadakan penilaian. ”Penilaian dilakukan pada pengemasannya, bukan pada isinya. Maksudnya penilaiannya hanya pada penampilan yang mendukung penampilan khas dari setiap daerah tidaklah mungkin dapat dinilai. Tidaklah mungkin mempertandingkan guritan, yang menurut orang-orang Basemah tentulah yang terbaik, dengan lelihiman yang menurut orang-orang Ogan juga yang terbaik,’’ tutur Vebri.

Acara ini terselenggara berkat dukungan Bank Sumsel yang memang dikenal banyak mendukung kegiatan revitalisasi kebudayaan lokal.[]

Friday, June 22, 2007

Rahman Kembali, Yuri Masih Diperiksa

Rahman Djalili, dipastikan kembali aktif sebagai walikota prabumulih. Rahman yang dinonaktifkan terkait dugaan korupsi pembangunan perkantoran gedung walikota, diperkirakan akan kembali berkantor senin depan (25/06). Informasi ini diterima dusunlaman dari seorang wartawan Sumatra Ekspres yang sekarang mengelola Prabumulih Pos.

Sementara itu, Wakil Walikota Prabumulih Yuri Gagarin yang menjadi pejabat plt walikota tatkala Rahman di non-aktifkan, tampaknya masih berada di bawah bayang-bayang proses hukum.Dilansir dari Sriwijaya Pos (16/06), Yuri masih menunggu proses hukum terkait dugaan penggelembungan dana pembelian mobil dinas wakil walikota.

”Penyidikan terhadap kasus tersebut terus berjalan sesuai prosedur yang berlaku,” ujar Kapolda Sumsel, Irjen Pol Ito Sumardi, SH, MH, MBA Seperti dimuat di Sriwijaya Pos. []

Duku

Duku [bag. 1]
Cerita Pendek K. Usman

Tengah malam, aku terbangun oleh sentuhan jari-jemari halus membelai pipi kananku. Refleks aku terduduk. Wajah cantik itu tersenyum manis di sebelah kiriku.

”Ada apa tengah malam begini, hem,” tanyaku.

”Sayang, anak kita minta duku,” jawabnya manja sambil merangkul leherku.

”Duku? Tengah malam begini?”

”Ya, sayang. Anak pertama kita yang meminta, bukan aku.” Mimin membelai perutnya yang makin membesar. Tangan kananku ditariknya, didekatkan ke perutnya. Perutnya hangat di telapak tangan kanankuku. ”Sore tadi kan dokter Han bilang, kandunganku sudah jalan tiga bulan,’ katanya tetap manja dan tetap tersenyum.

Kulihat jam dinding. Baru pukul 02.15. Kugosok-gosok mata. Sebab aku ragu, kok angka dua itu mirip angka lima. Ternyata, mataku masih sehat. Memang demikianlah adanya. Jam dinding itupun berjalan normal-normal saja.

”Mimin, lihat itu!” aku menunjuk ke arah jam dinding.

”Lho, apa urusannya dengan waktu kalau memang kau kasih pada anakmu?” Suaranya ketus. ”Delapan tahun kau dan aku menunggu kehadirannya, Sayang?”

”Ya, delapan tahun. Kau benar. Tapi sekarang tengah malam. Mana ada penjual duku menjajakan dagangannya waktu seperti ini!”

”Cari, dong!”

”Semua pasar tradisional tutup. Pasar swalayan apalagi. Penjaja buah keliling, pada saat begini sedang kelonan di rumah masing-masing.”

”Kok, kamu tahu pedagang keliling kelonan?” tukas Mimin kritis.

”Habis? Tengah malam begini enaknya kelonan, bukan?”

”Maumu, huh!” Mimin mencibir. Dalam keadaan begitu, sejak dia masih gadis menggemaskan. Biasanya kupagut dagunya, dan bibir tipis kukulum-kulum sampai dia menggelinjang.

Tiba-tiba Mimin merebahkan tubuh ke ranjang dan membelakangiku. Tak lama kemudian terdengar sedu-sedannya. Ia mengatakan, ”Kau tidak sayang pada anak pertama kita. Memang aku yang kerja keras mencari spesialis kandungan, shalat tahajud, dan berdo’a untuknya.”

Tangis Miminmakin menjadi-jadi. Gerutunya merembet-rembet pada orangtuaku, adik-adikku, paman, dan bibiku, yang meragukan kesuburan kandungannya. Katanya, keluargaku kejam. Masa baru lima tahun dia jadi istriku, begitu saja memvonis dia mandul. Ceraikan saja perempuan mandul itu. Cari perawan yang subur.

”Jangan menceracau begitu, dong, Mimin,” bisikku. ”Yang sudah, yang sudah, ya sudahlah! Maafkanlah mereka. Yang penting, aku kan tetap tresno padamu. Aku Kukuh, bukan.”

Bersambung...





Monday, June 18, 2007

Buruk Tergantung di dunia Maya

Setelah meninggalkan Prabumulih dan menetap sementara di Jakarta hingga saat ini, rasa rindu mendengar tembang-tembang sumsel mulai tumbuh. Beberapa lagu memang tidak terlalu sulit didapat, bahkan di lapak kaset bajakan yang ada di Jakarta, bisa ditemukan. Di pasar Senen dan terminal Blok M misalnya.

Yang tak gampang adalah mencari kembali lagu-lagu Sahilin dan Denali yang kaset-kasetnya diproduksi oleh Palapa Record, Palembang. Lagu-lagu berirama batanghari sembilan yang mereka nyanyikan mereka diiringi alunan gitar tunggal. Uniknya, gitar yang dimainkan memiliki stem (tune) berbeda dengan gitar standar, sehingga menghasilkan bunyi-bunyi yang khas.

Entah berapa kali sudah saya memesan melalui teman-teman yang tinggal di Palembang. Nyatanya, keinginan untuk mendengar kembali lagu-lagu Denali atau Sahilin belum kesampaian hingga akhirnya saya menemukannya di dunia maya.

Di situs multiply saya menemukan ”Kaos Lampu” yang kerap juga disebut lagu ”buruk tergantung” atau ”bujang tue”. Ini adalah salah satu lagu milik Sahilin yang populer. Liriknya amat kocak dan menyerempet ke hal-hal saru. Berupa pantun bersahut antara Sahilin dengan Siti Rahmah [?].

Multiply akhirnya menjadi ladang perburuan bagi saya untuk mencari dan mengunduh (download) lagu-lagu daerah sumsel. Terlepas dari pertanyaan tentang royalti yang seharusnya diberikan kepada para seniman Sumsel, setidaknya saya senang bahwa lagu-lagu Sumsel yang sudah tidak diproduksi lagi oleh industri rekaman bisa dinikmati di seluruh dunia. Tentu saja selama dapat mengakses internet.[]

Sunday, June 17, 2007

Kandidat Wako dan Wawako Prabumulih ”Berat Ujung”



Pemilihan Kepala Daerah di Prabumulih belum lagi dimulia. Masih lama. Namun, tampaknya para kandidat calon sudah ’berat ujung’. Dilansir dari Sriwijaya Post (Jumat, 15 Juni 2007), orang-orang yang berkeinginan menjadi orang pertama dan kedua di kota minyak ini mulai pamer muka. Pamflet dan stiker bergambar foto masing-masing kandidat tersebar di sejumlah sudut kota. Fasilitas-fasilitas umum, meliputi tiang listrik, pagar sekolah dan perkantoran, dinding bangunan ruko, pun jadi korban vandalisme. Pasti tambah rusak pemandangan kota yang belum tertata ini.

Sementara itu Ketua KPUD Prabumulih, Drs H Syamsuddin Burhasin bersama para anggota lembaga tersebut malah menyilahkan saja aksi ”curi start” para kandidat yang mulia berat ujung tersebut. Syamsudin mengaku tak bisa menanggapi apalagi menindak dengan alasan proses pilkada belum dimulai.

[komentar dusunlaman]
Justru kalau pilkada sudah dimulai, makin sulit ditindak.[syam]

Sembilan Sungai, Batanghari Sembilan

Propinsi Sumatra Selatan (Sumsel) dialiri banyak sungai besar. Salah satunya, sungai Musi yang berhulu di gugusan Bukit Barisan dan bermuara di laut tepian pantai Timur Sumatra ini. Karena terdapat 8 sungai besar yang menjadi anak sungai Musi, maka Sumsel di sebut juga Tanah Batanghari Sembilan atau Tanah Sembilan Sungai.

Mendengar kata batanghari sebagian orang akan mengaitkannya dengan nama sungai yang membelah kota Jambi, sungai Batanghari. Namun, Batanghari Sembilan sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan sungai terbesar di propinsi tetangga Sumsel itu. Batanghari dalam beberapa bahasa lokal di Sumsel, misalnya saja bahasa Rambang (Prabumulih), berarti sungai. Bersinonim dengan kali (Jawa) atau river (Inggris).

Kesembilan sungai yang termasuk batanghari sembilan dari hulu hingga ke hilir adalah:

  1. Sungai Musi,
  2. Sungai Batanghari Leko,
  3. Sungai Lalan.
  4. Sungai Lakitan
  5. Sungai Kelingi,
  6. Sungai Rawas,
  7. Sungai Lematang,
  8. Sungai Ogan, dan
  9. Sungai Komering.


Acapkali daftar susunan kesembilan batanghari anak sungai Musi berbeda dengan daftar di atas. Amar Lubay di blognya memasukkan sungai Enim dan sungai Rambang ke dalam daftar, menggantikan sungai Batanghari Leko dan Lalan.

Sekadar catatan, Sungai Enim yang membelah kota Muara Enim bukan anak sungai Musi. Lebih tepat disebut sebagai ”cucu”sungai Musi, mengingat sungai Enim bermuara di sungai Lematang. Pun demikian dengan sungai Rambang yang terdapat di tepian kota Prabumulih. Sungai Rambang berakhir di sungai Ogan.

Jika daftar sembilan batanghari yang terdapat di atas belum tepat, bolehlah pembaca memberikan koreksi.[]

Saturday, June 16, 2007

Jus Kemang!

Jus Kemang!

Syam Asinar Radjam [dusunlaman]

Ada yang membuat kunjungan saya ke Bogor beberapa bulan lalu (28/02) berbeda. Jus buah kemang!

Kemang (Mangifera kemanga caecea) bukanlah buah asing bagi saya. Sejak kecil saya mengenal buah yang berkerabat dengan mangga (Mangifera indica) ini. Tapi, kali pertama menikmatinya dalam bentuk jus atau sari buah, ya baru saat itu.

Di kampung kelahiran saya, buah ini sangat populer. Bukan hanya karena ada dua tempat yang namanya berasal-usul dari nama buah ini (bawah kemang, dan kemang tanduk). kemang paling populer untuk dibuat sambal. Daging buah kemang yang matang dicacah, dibumbui cabai, garam dan sedikit terasi. Disajikan sebagai sambal mentah maupun sedikit ditumis sama enaknya. Apalagi bila disantap bersama gulai atau pindang ikan patin. Wuiiih...


Konon di beberapa daerah, daging buah kemang yang matang dijadikan asinan dan diawetkan dalam garam, dan disimpan dalam botol untuk membuat sambal jika tidak sedang musim buah. Serupa dengan mengawetkan duren menjadi tempoyak.

Ada sebagian orang, termasuk saya menyukainya untuk disantap selayaknya buah segar. Rasanya fantastis. Di balik kesegarannya dan keharuman khasnya, campuran rasa asam, manis, dan kelat bermain di lidah. Sensasi rasa asamnya bisa bertahan selama beberapa jam di gigi.

Tapi jangan mencoba buah yang bentuknya lonjong hampir bulat telur ini jika buahnya masih mentah. Getah kemang muda tergolong "tajam" dan dapat menyebabkan jika tersentuh kulit. Rasanya mirip seperti luka bakar.

Dibanding keluarga mangga yang lainnya, kemang memiliki kulit yang tipis (1 mm). ketika masih muda, si kulit tipis ini berwarna coklat pucat atau kadang kekuningan, lalu berubah menjadi agak kuning cerah agak kehijauan serta lebih mengilap ketika matang. Daging buahnya berwarna putih susu, bertekstur lembut serta berserat sedikit.

Menanti kemang berbuah adalah salah satu keasyikan tersendiri. Terutama ketika bayangan merah jambu bunganya memantul di permukaan air sungai nan jernih. Kebetulan sebatang pohon yang kemang yang berdiri tegak lurus, tinggi meraksasa, tumbuh di tepi sungai tak jauh dari rumah orang tua saya. Tepatnya di "jerambah kuning, satu tempat pemandian yang berada di aliran sungai jambat teras.

Saya tidak tahu apakah saat ini pohon kemang itu masih berdiri di sana. Yang pasti, jus kemang di salah satu kantin yang berjejer di sayap kiri lapangan Sempur Bogor telah mengingatkan saya pada salah satu buah favorit saya ini. Sampai-sampai, dalam perjalanan pulang kembali ke Jakarta, saya membeli 2 kilo kemang mengkal yang banyak dijual di stasiun Merdeka Bogor. Berharap menikmati jus kemang di rumah, sebanyak yang saya hasratkan.

Sesampai di rumah, saya baru sadar. Kami belum punya juicer atau blender sekalipun.[]

Monday, June 4, 2007

Kesenian Prabumulih: Organ Tunggal

Syam Asinar Radjam [dusunlaman]

Menengok resepsi perkawinan adalah salah satu cara praktis untuk mengetahui aktivitas kesenian setempat. Lalu, kesenian apa yang hidup di Prabumulih atau bahkan seantero Sumatra Selatan? Jawabannya, budaya organ tunggal dengan ajeb-ajeb house music.

Dalam perayaan-perayaan yang masih berani menampilkan kemasan adat ke-Palembang-an, organ tunggal memang telah menyusup bahkan berurat akar. Memang jika kebetulan kondangan ke resepsi pernikahan di tanah Sumatra Selatan kita akan menyaksikan kedua mempelai mengenakan pakaian adat yang disebut penganggon. Mempelai perempuannya akan didandani cantik dengan sunting aisan melekat di kepala. Keluarga kedua mempelai akan berhias dengan mengenakan baju kurung dan kain songket.

Aneka makanan tradisional pun dipergelarkan, sebut saja empek-empek, tekwan, malbi, dan kue-kue misalnya maksuba, engkak ketan, bolu empat belas jam, srikaya, dan lain sebagainya.

Tari Tanggai dipergelarkan menyambut tetamu. Lagu-lagu rakyat didendangkan. Tapi, khususnya tarian dan nyanyian hanya sebatas ritual di awal acara. Selebihnya, dentum musik selayaknya di diskotik. Apapun jenis lagunya, iramanya... house music. Hajar... Mang!

Kembali menyoal kesenian, ia adalah sesuatu yang hidup di dalam masyarakat. Ia bukan semata-mata jenis dan model pakaian apa yang dikenakan, lagu apa yang dinyanyikan, tarian apa yang digerakkan, makanan apa yang disajikan. Sekali lagi kesenian adalah sesuatu yang hidup, tumbuh, dan berkembang bersama dinamika masyarakat di suatu tempat. Ia dan tata cara dalam hidup memiliki hubungan timbal balik. Ia jugalah yang memengaruhi dan dipengaruhi oleh nilai yang ada di suatu komunitas.

Dan organ tunggal bukan hanya telah merebut tempat teratas dari kesenian yang di Prabumulih. Ia bahkan telah memenangkan, menyingkirkan aneka kesenian yang sebelumnya ada. Seusai romantisme terhadap segala ritual diselenggarakan, ia memainkan peranan penting hingga pesta usai. Organ tunggal mampu menarik anak-anak muda dan paruh baya di resepsi pernikahan untuk berapresiasi, naik ke panggung lalu menyanyikan lagu Jablai atau SMS dengan irama house music. Tembang-tembang yang pernah dipopulerkan Pance Pondaag, Meriam Belina, Dian Piesesha pun dinyanyikan dengan irama house music.

Organ tunggal pula-lah yang mampu menjerat tetamu untuk tetap di tempat, sekalipun tak jarang karenanya pesta pernikahan dilangsungkan dari pagi hingga tengah malam. Jika para tetamu ini diibaratkan mesin, maka organ tunggal adalah engkol yang terus menerus memicu agar energi pada mereka terus terbangkitkan. []

Saturday, June 2, 2007

Kecintaan K Usman Pada (dusunlaman) Prabumulih















Foto: Yang tua dan yang muda, K. Usman dan Vinda Swasthipadma di PDS HB. Yasin, Cikini, Jakarta.




Syam Asinar Radjam [dusunlaman]

“Untuk Prabumulih dan untuk anak Ayah, apapun pasti Ayah izinkan,” suara pengarang tua kelahiran Dusun Tanjung Serian, Muara Enim, 67 tahun lalu, terdengar hangat.

Hari itu, (14/04/07) saya sengaja menghubunginya pengarang yang dibesarkan di Prabumulih, Sumsel ini. Karena, sehari sebelumnya saya menemukan 5 judul buku yang ditulis beliau.

Buku-buku yang terhitung tua. Salah satunya, Deru Ombak di Tebing Karang (Balai Pustaka, 1963). Buku yang bertahun cetak paling muda, Ada Taman di Kotaku (Kurnia Esa, 1978). Yang terakhir ini, salah satu karya beliau yang saya idamkan bertahun-tahun. Kenapa saya begitu terobsesi terhadap buku ini, sampai-sampai memasuki padang-padang perburuan buku bekas, akan saya ceritakan di tulisan lain.

Kegembiraan saya meluap-luap, lantaran 5 buku ini menambah perbendaharaan di perpustakaan kecil di rumah. Padahal, keseluruhan karya K Usman yang saya koleksi baru seujung kuku dibanding total buku yang telah ia tulis. Paling tidak 203 buku karya K Usman telah diterbitkan. Jumlah itu akan terus bertambah, mengingat beliau adalah penulis yang tetap produktif di masa tuanya.

Tampaknya, kabar yang saya sampaikan melalui telepon menularkan kegembiraan yang sama kepada K Usman. Sebab, beliau sendiri kehilangan sejumlah buku karangannya. Saat ini beliau sedang mengumpulkan kembali satu per satu buku yang ia tulis. Kebetulan, dua judul buku yang saya temukan termasuk daftar buku yang ia buru. Judul buku yang dimaksud adalah sebuah fabel berjudul Bersatu Padu Mengalahkan Musuh (Bas Djaya, tanpa tahun) dan ehm... “Ada Taman di Kotaku”. Untuk itu, beliau meminta saya untuk mengopi keduanya.

Tiba-tiba saya teringat satu gagasan yang pernah muncul di milis dusunlaman. Saya lupa siapa penggagasnya. Bisa jadi Kak Topan Reda Hasanudin, boleh jadi Kak Yulius Hendra Hasanudin. Yang pasti, gagasannya adalah menampilkan cerita-cerita karya K Usman di blog dusunlaman.

Kepada K Usman, saya memperkenalkan blog dusunlaman. Sebuah situs maya “keroyokan” yang diniatkan sebagai media berbagi informasi bagi semua warga Prabumulih. Tak lupa meminta izin beliau agar diperbolehkan menulis ulang sejumlah karyanya lalu ditampilkan di blog dusunlaman. Terutama, cerita-cerita yang mengambil setting/latar di Prabumulih.

Gayung bersambut! Beliau antusias dan membolehkan. Seperti yang diucapkan beliau “Untuk Prabumulih... Apapun Ayah izinkan.”

“Ruwatan” menulis ulang buah kecintaan K Usman pada (dusunlaman) Prabumulih akan menjadi sajian utama di blog dusunlaman. []

Warga Dusunlaman #1



Salah satu tukang kebun di blog dusunlaman ini adalah Syam Asinar Radjam. Ia seorang Prabumulih, penyuka wacana lingkungan, penulis lepas, comic writer yang juga senang memotret.

Bersama Pulung Ria (guru taman kanak-kanak yang senang menulis puisi), Syam juga mengelola blog softTEXT. Di blog ini dapat dibaca tulisan Syam dan Ria berupa kiat menulis naskah komik (comic's script), puisi, opini lingkungan, dan tulisan ringan lainnya.

Friday, June 1, 2007

Ironi dan Komedi Lumbung Energi Nasional

Syamsul Asinar Radjam dusunlaman

Dalam pemahaman tradisional, lumbung adalah tempat penyimpanan hasil panen, dari musim panen ke musim panen berikutnya. Isi lumbung bisa berupa padi, jagung, atau hasil bumi lain yang dapat bertahan lama. Kesemuanya sengaja dipersiapkan untuk menghadapi masa paceklik. Dalam pemahaman itu pula, sesuatu yang disimpan di dalam lumbung adalah sesuatu yang bersifat berkelanjutan (sustainable).

Akhirnya, kita mengenal pula istilah lumbung pangan. Sudah barang tentu, yang dimaksudkan adalah suatu daerah atau kawasan yang memiliki kawasan pertanian penghasil pangan dalam jumlah besar. Pengistilahan ini tentu dapat diterima mengingat lumbung pangan mengandung dua prasyarat mendasar sebagai lumbung. Penyimpanan dan berkelanjutan. Sekalipun ada kalanya terdapat kemungkinan, fungsi penyimpanan tidak berfungsi lantaran hasil panen di kawasan lumbung pangan habis didistribusikan ke daerah lain. Tapi, toh tetap berkelanjutan.

Pada gilirannya dikenal pula pula istilah lumbung energi, sebutlah sebagai sebuah penamaan baru bagi tempat eksploitasi sumber daya energi. Lumbung energi berawal dari obsesi Gubernur Sumatera Selatan (Sumsel), Syahrial Usman. Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono kemudian menyetujui pencanangan Sumsel sebagai Provinsi Lumbung Energi Nasional.

Sebagaimana dikutip dari harian Kompas (10 November 2004), Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan, “Provinsi Sumatera Selatan akan didorong menjadi lumbung energi kelistrikan nasional. Caranya, membangun infrastruktur yang mengandalkan kekayaan sumber daya alam di wilayah tersebut, terutama gas, batu bara, dan air. Diharapkan, energi yang diperoleh dapat dioptimalkan untuk mengatasi kelangkaan pasokan energi listrik di Sumsel, di samping menyumbang energi ke wilayah lain di Sumatera dan Jawa.”

Pernyataan Presiden RI tersebut tentu mengandung sejumlah konsekuensi logis. Menurut Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), akan terjadi peningkatan laju pengerukan sumber daya energi fosil di Sumsel dan gencarnya pembangunan infrastruktur pendukungnya. Kondisi ini dapat diperkirakan bakal menimbulkan masalah di sekitar lokasi pembangunan seperti konflik lahan, alih fungsi dan masalah sosial ekonomi. Di samping itu, berdampak besar pada kelestarian lingkungan.

Tak Berkelanjutan

Lupakan sejenak tentang konsekuensi logis tadi. Sebab, persoalan yang lebih mendasar justru berada pada hal ‘teramat sepele’. Istilah!

Dari istilah saja, lumbung energi sudah keliru. Obsesi menjadi lumbung energi sama sekali tidak mengandung arti sebagai tempat penyimpanan sumber energi yang berkelanjutan. Pada tataran ide, lumbung energi hanya bermodalkan potensi minyak bumi, gas alam dana batubara, atau sering disebut sumber energi fosil. Ditambah dengan sumber energi panas bumi dan gas metan yang diperkirakan juga dikandung Sumsel.

Sumber-sumber energi tersebut tergolong sebagai sumber energi yang tak terbarui, dapat dikeruk habis. Artinya, lumbung energi bukanlah tempat penyimpanan energi yang berkelanjutan. Jadi, penamaan lumbung energi nasional tidaklah berlebihan jika dianggap sebagai jargon semata. Maknanya tidak lebih mulia ketimbang wilayah perahan energi nasional.

Memang, potensi sumber daya energi Sumsel, terhitung luar biasa. Lihat daftar berikut:

Tabel Potensi Pertambangan dan Energi Sumatera Selatan
- Batubara : 22 milyar ton (60 % cadangan nasional)
- Minyak Bumi : 512 juta barel (10 % cadangan nasional)
- Gas Alam : 7 trilyun kaki kubik (9 % cadangan nasional)
- Panas Bumi: 1.335 mega watt (masih dalam penelitian)
- Gas metan: 20 triliun kubik (masih dalam penelitian)
Dari berbagai sumber

Jumlah persedian energi tersebut didengung-dengungkan tak akan habis pakai selama 250 tahun. Fantastik! Maka perlu dieksploitasi. Padahal dapat disebut lumbung energi, seharusnya sumber-sumber energi yang dimaksud adalah sumber energi terbarukan atau dapat diperbarui. Contohnya, energi air, angin, sinar matahari, biomassa dan biogas.

Sekadar catatan, Sumsel diperkirakan memiliki cadangan tenaga air setara dengan 516 mega watt dan biomassa setara 448 juta liter minyak. Sayangnya, tidak dipersiapkan desain dan teknologi pemanfaatan sumber-sumber energi ini. Alih-alih dijadikan modal dasar pada konsep lumbung energi.

Promosi lumbung energi lebih mengedepankan sumber-sumber energi tak terbarukan. Minyak bumi, gas bumi, batubara dan panas bumi lebih menjadi modal dasar dalam mewujudkan provinsi ini sebagai Lumbung Energi. Khususnya, melalui pembangunan ketenagalistrikan dan penyediaan energi bahan bakar dan industri.

Ironi dan Komedi

Masalah kedua adalah kepada siapa konsep ini diabdikan. Kepada masyarakat atau kepada pemodal. Bagi masyarakat sumsel, lumbung energi adalah perpaduan ironi, kegetiran, dan sekaligus komedi. Persedian energi Sumsel yang didengung-dengungkan tak akan habis pakai selama 250 tahun tak menjawab kebutuhan riil masyarakat. Hingga tahun 2006, masyarakat di 726 desa atau 30 % dari jumlah desa di provinsi ini belum memiliki fasilitas listrik (Kompas, 20 februari 2006).

Desa Sinar Rambang yang sangat dekat dengan kota minyak Prabumulih salah satu contohnya. Meski di desa ini terdapat beberapa sumur minyak dan gas — yang boleh jadi diperuntukkan bagi beberapa pembangkit listrik skala besar–, jaringan listrik PLN tidak mencapai ke desa tersebut. Satu-satunya fasilitas listrik terdapat di stasiun pengumpul minyak yang dikelola perusahaan rekanan pertamina. Tak pelak masyarakat harus menyediakan listrik sendiri. Sejumlah kepala keluarga bergotong-royong membeli generator set sendiri untuk penerangan beberapa rumah.

Tak hanya kekurangan listrik, Sumsel pun tak luput dari kelangkaan bahan bakar minyak. Kelangkan minyak tanah terjadi sebagaimana di provinsi lain.

Ironisnya, di saat masyarakat mengalami kekurangan listrik maupun bahan bakar minyak, Sumsel memasok gas alam untuk pembangkit listrik di Singapura. Sebanyak 430 juta kaki kubik gas alam disalurkan melalui jaringan pipa menuju Singapura setiap harinya. Dalam waktu dekat, gas Sumsel juga akan disalurkan untuk memenuhi 60 % kebutuhan energi Jakarta dan Jawa Barat. Jumlahnya 400 hingga 600 juta kaki kubik gas setiap harinya. Ironis, memang!

Fakta tersebut berseberangan dengan pernyataan Syahrial Usman yang dikutip koran Tempo (30 november 2004). Menurutnya, bila Sumsel tidak menjadi lumbung energi, krisis energi bakal terjadi di daerah ini. Cadangan energi yang ada akan tersedot ke luar Sumsel.

So, what?! Meski demikian Pemerintah Propinsi Sumsel sudah punya jawaban untuk itu! Penyelesaian krisis listrik akan teratasi dengan dibangunnya pembangkit-pembangkit listrik di propinsi ini. Hal tersebut diharapkan terwujud jika Sumsel mendapatkan alokasi pembangkit listrik tenaga uap yang sebesar 10.000 mega watt yang dicanangkan PLN.

Apa lacur, alokasi proyek yang dinanti-nantikan memberikan jawaban lain. Gubernur Sumsel dan para pendukung lumbung energi harus gigit jari. Sebab, tak satu pun dari seluruh proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batubara untuk memenuhi 10.000 mega watt dibangun di propinsi ini. Peraturan presiden (Perpres) nomor 71 dan 72, menyebutkan pembangunan PLTU justru dibangun di propinsi yang tidak memiliki sumber energi batubara. Yaitu, tiga PLTU di Banten, dua PLTU di Jawa Barat, dua PLTU di Jawa Tengah dan tiga PLTU di Jawa Timur. Tadinya, Pemerintah Sumsel berharap dijatahi pembangit listrik 3000-4000 mega watt.

Kenyataan tersebut membuat mimpi tarif listrik murah karena diberlakukan secara regional di Sumsel, jauh panggang dari api. Pun demikian dengan mimpi mengurangi jumlah penduduk miskin maupun pengangguran.

Menggagas lumbung energi berkelanjutan

Gagasan tentang lumbung energi bukan suatu yang mustahil. Bukan sebuah utopia. mengingat potensi sumber energi alternatif (yang berkelanjutan) juga melimpah di bumi Sumsel. Sumber-sumber energi inilah yang mesti menjadi prioritas pengembangan dan pemanfaatan.

Tentu ada beberapa prasyarat untuk mewujudkan lumbung energi (sekali ini sudah dilengkapi dengan kata) berkelanjutan. Pertama dan kedua adalah ketersedian teknologi serta ketersedian manusia yang siap mengoperasikan teknologi tersebut. Prasyarat ketiga adalah ketersediaan modal.

Bila Sumsel belum mengenal teknologinya, belum pula memiliki tenaga operator yang memadai, serta belum bisa membangunnya secara swadaya dengan pendanaan yang bersumber dari pendapatan asli daerah, tunda sejenak mimpi lumbung energi. Memaksakan diri membangun pembangkit listrik dengan teknologi yang belum dikenal masyarakat lokal, dan dibangun dari utang, hanya memperparah kondisi.

Pengelolaan sumber daya alam dalam segala bidang, termasuk bidang energi, harus mengedepankan prinsip keadilan antar generasi. Sangat tidak bijak mengeksploitasi sumber energi hanya untuk kepentingan sesaat. Prinsip dasar penggunaan energi adalah ‘more you use, more you loose’, makin yang dipakai makin banyak kehilangan!

Jadi, saat ini Sumsel perlu melakukan moratorium atau jeda waktu pengerukan energi. Sembari menunggu kesiapan teknologi dan modal (yang bukan utang) untuk membangun lumbung energi berkelanjutan, tenaga lokal dikirim belajar ke tempat-tempat yang telah menguasai teknologinya. Sehingga, tenaga lokal akan terlibat penuh dalam pengelolaan sumber energi. Angka kemiskinan dan pengangguran tidak dapat diselesaikan dengan konsep basi ‘efek bergulir’ atau multiplyer effect. Pada kebanyakan kasus di sekitar industri atau pertambangan, efek bergulir yang dimasud hanya mengubah masyarakat lokal yang semula pemilik lahan menjadi buruh kasar atau pedagang kakilima.

Dengan kesiapan tersebut, ditambah dukungan politik nasional, Sumsel sebagai lumbung energi nasional adalah sesuatu yang niscaya. Bukan hanya sebuah mega-proyek yang hanya menguntungkan pemodal. Kemalasan menggagas ulang konsep lumbung energi dapat berakibat fatal. Sumber energi hanya dinikmati segelintir kelompok saja, tanpa memperbaiki tingkat kesejahteraan masyarakat Sumatera Selatan. Bahkan mungkin lebih parah. Ibarat tikus mati di lumbung energi, masyarakat sumsel miskin di lumbung energi.//
banner8.gif