Friday, June 22, 2007

Duku

Duku [bag. 1]
Cerita Pendek K. Usman

Tengah malam, aku terbangun oleh sentuhan jari-jemari halus membelai pipi kananku. Refleks aku terduduk. Wajah cantik itu tersenyum manis di sebelah kiriku.

”Ada apa tengah malam begini, hem,” tanyaku.

”Sayang, anak kita minta duku,” jawabnya manja sambil merangkul leherku.

”Duku? Tengah malam begini?”

”Ya, sayang. Anak pertama kita yang meminta, bukan aku.” Mimin membelai perutnya yang makin membesar. Tangan kananku ditariknya, didekatkan ke perutnya. Perutnya hangat di telapak tangan kanankuku. ”Sore tadi kan dokter Han bilang, kandunganku sudah jalan tiga bulan,’ katanya tetap manja dan tetap tersenyum.

Kulihat jam dinding. Baru pukul 02.15. Kugosok-gosok mata. Sebab aku ragu, kok angka dua itu mirip angka lima. Ternyata, mataku masih sehat. Memang demikianlah adanya. Jam dinding itupun berjalan normal-normal saja.

”Mimin, lihat itu!” aku menunjuk ke arah jam dinding.

”Lho, apa urusannya dengan waktu kalau memang kau kasih pada anakmu?” Suaranya ketus. ”Delapan tahun kau dan aku menunggu kehadirannya, Sayang?”

”Ya, delapan tahun. Kau benar. Tapi sekarang tengah malam. Mana ada penjual duku menjajakan dagangannya waktu seperti ini!”

”Cari, dong!”

”Semua pasar tradisional tutup. Pasar swalayan apalagi. Penjaja buah keliling, pada saat begini sedang kelonan di rumah masing-masing.”

”Kok, kamu tahu pedagang keliling kelonan?” tukas Mimin kritis.

”Habis? Tengah malam begini enaknya kelonan, bukan?”

”Maumu, huh!” Mimin mencibir. Dalam keadaan begitu, sejak dia masih gadis menggemaskan. Biasanya kupagut dagunya, dan bibir tipis kukulum-kulum sampai dia menggelinjang.

Tiba-tiba Mimin merebahkan tubuh ke ranjang dan membelakangiku. Tak lama kemudian terdengar sedu-sedannya. Ia mengatakan, ”Kau tidak sayang pada anak pertama kita. Memang aku yang kerja keras mencari spesialis kandungan, shalat tahajud, dan berdo’a untuknya.”

Tangis Miminmakin menjadi-jadi. Gerutunya merembet-rembet pada orangtuaku, adik-adikku, paman, dan bibiku, yang meragukan kesuburan kandungannya. Katanya, keluargaku kejam. Masa baru lima tahun dia jadi istriku, begitu saja memvonis dia mandul. Ceraikan saja perempuan mandul itu. Cari perawan yang subur.

”Jangan menceracau begitu, dong, Mimin,” bisikku. ”Yang sudah, yang sudah, ya sudahlah! Maafkanlah mereka. Yang penting, aku kan tetap tresno padamu. Aku Kukuh, bukan.”

Bersambung...

No comments:

Post a Comment

Silakan Komentar, tapi jangan nyampah :D

banner8.gif