Friday, July 6, 2007

Duku [bagian 3]

Duku [bag. 3]
Cerita Pendek K. Usman

sebelumnya...

Di pasar-pasar tradisional terdekat, ada tiga yang kudatangi, tidak kutemukan duku. Aku tancap gas ke pasar swalayan yang buka 24 jam. Kudapati satpam terkantuk-kantuk. Kasir-kasir berwajah pucat layu, walaupun sudah berdandan rapi.

nggak ada duku di sini,” kataku setelah mutar-mutar di tempat buah-buahan lokal.

”Lagi belum musim, Om” ucap seorang kasir sambil mencoba menyegar-nyegarkan wajahnya.

Pukul 03.10 aku meluncur ke Pasar Induk Kramat Jati, kawasan Jakarta Timur. Di sana segala ada. Di pasar itu grosiran dan eceran dilayani sepanjang hari. Seperti bermimpi, kutemukan setumpuk duku, masih agak hijau. Benar-benar setumpuk duku. Entah dari mana asalnya. Kuborong semua yang tersedia, dua kilo gram lebih sedikit. Pedagang itu minta sepuluh ribu rupiah. Langsung kubayar kontan. Setelah itu, aku meluncur dengan kecepatan tinggi, menembus kabut pagi yang dingin menuju rumah. Rasa bangga seorang calon ayah berkobar di dadaku.

Tiba di rumah, kusodorkan kantong plastik hitam yang berisi duku dua kilo gram lebih kepada Mimin. Antusias dia menyambut hasil perburuanku dan berlari ke ruang makan, tempat untk mulai makan duku.

”ah, masam, sepat, ini buka duku Palembang, Bung!” teriaknya. ”Ini duku Condet!” Sambil berkata duku yang masih hijau itu dibuangnya ke tempat sampah. Bruuuk!

”Masya Allah!” aku mengucap sambil mengurut dada.

Mimin mengatakan, lidahnya tak dapat dikibuli. Ia berkata sambil mengulurkan lidah lancipnya.

”Tega kau membohongi anakmu. Masa’ berpura-pura kepada buah cinta kita. Mencontoh siapa kau ini, sih?! Kau simpan dimana hati nuranimu?” Merepet suaranya seperti tembakan senapan otomatis.

Terasa letihku. Setela membuka jaket kulit bututku, aky tertunduk di dekat meja makan. Masih kurasakan dinginnya embun di wajahku. Tak kurasakan dinginnya embun di wajahku. Tak berharga jerih payahku. Padahal, semula Mimin tidak menyebut, anaknya minta duku alembang. Aku merasa sebagai si bersalah.

Saat Mimin membanting pintu danm masuk kamar, set, terasa sembilu menyayat hatiku. Ternyata tidak mudah menjadi seorang ayah, pikirkus. Soal sepeleh jangan dikira tidak memusingkan kepala. Aku teringat cerita Mas Zakaria, manajer personalia di kantorku. Ketika ngidam pertama, istrinya minta gigi buaya. Dia panik. Saudara-saudara dan relasi dia hubungi. Pergilah dia ke restoran khusus di kawasan Mangga Dua, akarta Kota. Di sana dijual sate ular, kadal, kelinci, dan daging buaya. Dengan harga sangat mahal dibelinya sebuah gigi buaya. Istrinya bahagia sekali. Dia merasa pahlawa bagi istri dan anak pertamanya. Sedang aku? Untuk sementara gagal.

Bersambung...

2 comments:

  1. Duku bikin ribeeeetttttt!!!!

    Sabar ya bang!!!!

    Ditunggu sambungan ceritanya!!

    ReplyDelete
  2. Ok Nitra,
    segera dilanjutkan ceritanya

    ReplyDelete

Silakan Komentar, tapi jangan nyampah :D

banner8.gif