Sunday, August 5, 2007

Duku [Bagian 4]

Duku [Bagian 4]
Cerita Pendek K. Usman

Sebelumnya

Alhamdulillah, walaupun lagi ngambek, Mimin mau salat Subuh berjamaah denganku. Ia menciumku seusai kami berdoa khusyuk. Susu hangat dan roti selai nanas disiapkannya di meja makan. Setelah itu, dia naik ke ranjang dan tersedu-sedu. Aku jadi serba salah.

Mumpung masih pagi, harga pulsa belum mahal, kuhubungi saudara dan kawan-kawan dekat. Terakhir kutelepon Bunda di Prabumulih. Aku minta dicarikan duku Palembang. Kalau ada buah duku salah musim, atau buah sela, tolong segera kirim dengan titipan kilat ke Jakarta. Semua orang yang kutelepon tertawa terbahak-bahak, mengejekku.

”Mana ada duku Palembang di musim begini, Bung Gindo, ha ha ha,” kata Ir. Tama sahabatku yang bertugas di kabupaten Muara Enim, salah satu daerah yang banyak memiliki kebun duku rakyat.

Rakhmani, S.H., seorang hakim di Palembang, teman dekatnya di SMA dulu, yang seperti saudara setelah dia menikah dengan seorang perwira menengah TNI Angkatan Laut, pun terkekeh-kekeh. Mas Arifin, suaminya, ikut ngomong, dan terbahak-bahak. ”Dik Gindo lagi mimpi setelah usai salat Subuh, yo?” tanya Mas Arifin. Nggak ada duku Palembang. Musim orang lomba ngomong kan sekarang? Bukan musim duku, Dik.”

Adik-adikku di Prabumulih, salah satu pasar di kota tambang minyak, juga menyerah. Mereka bilang, buah salah musim pun tak tampak di pasar. Kota mana lagi yang harus kuacak-acak lewat telepon di pagi begini? Halimi di Martapura, wong suku Komering, staf hubungan masyarakat kukontak. Dia adalah seniorku waktu kuliah di Perguruan Tingi Publisistik. Abang Hal ini sudah seperti kakak bagiku. Gila! Dia lagi ’bobo-bobo pagi’ dengan Kak Syamsiah seusai salat Subuh.

”Kau ini ada-ada saja, Dik Gindo, ha ha ha, tahu nggak abangmu lagi subuk dengan Kakakmu. Ada apa? Duku Palembang? Istrimu pasti lagi ngidam, ya? Benar. Martapura memang ‘lumbung’ duku kalau lagi musim, dik. Tapi, sekarang kosong. Tapi, nanti aku cari, ya. Salam dulu buat binimu, tu.”

“Maafkan aku, Bang. Sampaikan pada Kak Syam, teruskan ’bobo-bobo pagi—nya,” kataku sambil menahan tawa. Tawa suami-istri itu sempat kudengar di telepon.

Terakhir kutelepon Bunda. Beliau masih berzikir di atas sajadah sejak usai shalat Subuh. Lembut dan membelai suaranya. Hati jadi sejuk. Sejak Ayah berpulang lima tahun silam, Bunda makin khusuk shalat, berdoa, dan zikir.

”Sayangku, Sulungku,” sambutnya, ”di mana Bunda harus mencari obat ngiler itu? Lagi tidak musim duku Palembang sekarang, Nak. Ya, Bunda akan cari sambil mengerahkan adik-adik, ipar-ipar, dan kemenakanmu yang kini sudah 35 jumlahnya itu. Bagaimana Mimin, menantuku? Bunda doakan, dia sehat-sehat selalu, ya?”

Bunda mencemaskan bila cucu pertama dari si sulungnya ngiler. Kata Bunda, ngiler sampai dewasa termasuk aib bagi keluarga, bukti ketidakmampuan orang tua, atau semacam kemalasan berusaha. Aib bagi keluarga? Aku bertanya setelah meletakkan gagang telepon. Kubayangkan putra-atau putriku ngiler sampai remaja. Kemana-mana dia membawa tisu atau saputangan untuk menadahi ilernya yang meleleh ke dagu. Benar juga kata Bunda, kalau betul-betul itu terjadi. Itu aib bagi keluarga. Tapi kalau duku Palembang memang sedang tidak musim, mau apa?

Semasa aku kecil, bila musim duku di kebun Laham, atau di seberang sungai Lematang, Kakek Muk memanggil anak-cucu untuk panen duku bersama. Pernah sekali, aku naik sebatang duku. Tiba di atas, kuguncang sebuah dahan yang lebat duku berwarna kuning keabuan. Maka runtuhlah ratusan duku. Berdebuk-debuk bunyi di atas daun-daun yang membusuk dan lebat karena lamanya. Orang tuaku, kakek, nenek, paman, bibi, semua sepupuhku heboh. Mereka bilang, cara panen duku seperti yang kulakukan itu salah besar. Buah duku akan pecah atau memar. Lalu, Paman Sub, anak kakek yang bungsu memberi contoh. Ia naik sambil membawa karung goni dan keranjang rotan yang diberi tali panjang. Setelah kedua tempat itui penuh oleh duku, dia turunkan perlahan-lahan disambut riuh-rendah anak-anak.

1 comment:

  1. WAH WAH WAH........
    Membaca cerita ttg duku membuatku semakin rindu pulang ke Prabumulih.

    Ada Muara Enim..........ada suku komering...........

    Semua daerah itu seakan-akan melintas di kepalaku!!

    ReplyDelete

Silakan Komentar, tapi jangan nyampah :D

banner8.gif