Friday, August 10, 2007

Gerakan Masyarakat Sipil Prabumulih

Oleh: Syam Asinar Radjam

Ada yang menarik jika menengok perkembangan masyarakat sipil di kota Prabumulih, Sumatra Selatan. Terutama, akhir-akhir ini. Masyarakat Prabumulih telah membuktikan bahwa rakyat memiliki kekuatan: suara rakyat.

Tengok saja apa yang telah dicapai oleh para pedagang di Pasar Inpres Prabumulih. Perjuangan mereka menolak rencana pembangunan pusat perbelanjaan (Prabumulih Mal) yang akan dibangun di depan pasar tempat mereka berdagang, berhasil. Walikota Prabumulih Rachman Djalili, yang baru beberapa hari kembali bertugas, setelah sempat dinonaktifkan dari jabatannya terkait dugaan korupsi, menyetujui lokasi pembangunan mal dipindahkan ke tempat lain.

Perlu disadari, dipindahkannya lokasi Prabumulih Mal tersebut bukanlah hasil perjuangan pejabat pemerintah kota. Melainkan hasil perjuangan pedagang sebagai komponen masyarakat sipil di kota Prabumulih. Masyarakat atau rakyatlah aktor utama dalam kasus ini. Suara rakyatlah yang menjadi kekuatan utama.


Menengok satu tahun ke belakang, suara rakyat Prabumulih juga telah berhasil mengusung isu tata ruang dan korupsi di kota Prabumulih. Isu ini dimotori oleh Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Prabumulih yang belakangan disusul oleh berbagai elemen lainnya, bahkan elemen mahasiswa di Palembang.

Gerakan ini membuat kasus penggelembungan dana proyek pembangunan gedung perkantoran Pemerintah Kota Prabumulih yang berlokasi Desa Pangkul mencuat ke permukaan. Pada gilirannya, proses hukum terhadap sejumlah pejabat yang ditengarai terlibat dalam tindak pidana korupsi pada proyek tersebut dilangsungkan.

Salah satu pejabat yang sempat menjalani proses hukum atas kasus ini adalah Walikota Prabumulih, Rachman Djalili. Pada gilirannya, Rahman sempat dinonaktifkan selama 1 tahun dari jabatannya.

Rahman, yang menjabat ketua dalam proyek bernuansa korup ini memang dinyatakan tidak bersalah oleh pengadilan. Bawahannya, Sulaiman Kobil sang Pimpinan Proyek sekaligus Kasubag Pemerintah Pemkot Prabumulih, dinyatakan bersalah serta harus menjalani hukuman 4 tahun bui.

Barangkali masih tersisa pertanyaan bagaimana mungkin seorang yang hanya ‘bawahan’ dapat ‘bermain’ tanpa keterlibatan pejabat yang berwenang di atasnya. Namun yang lebih penting, sekali lagi suara rakyat Prabumulih telah membuktikan kekuatannya.

Mundur ke masa yang lebih lampau, suara rakyat Prabumulih pernah merebut kemenangan bagi “hak atas lingkungan hidup”. Setelah, selama kurun waktu setengah abad Sungai Kelekar menjadi tempat pembuangan limbah aktivitas pengeboran minyak Pertamina di Prabumulih.

Pada tahun 2000, masyarakat Prabumulih melakukan serangkaian aksi meminta pertanggungjawaban Pertamina untuk menghentikan pencemaran Sungai Kelekar. Didampingi sejumlah organisasi lingkungan baik lokal, regional, nasional, ditambah dukungan sejumlah organisasi lingkungan internasional, masyarakat Prabumulih berhasil membuat Pertamina bertekuk lutut dan mengakui kesalahannya.

Hasilnya, selain menghentikan pembuangan limbah cair ke sungai Kelekar, Pertamina juga menyetujui beberapa tuntutan masyarakat. Di antaranya, rehabilitasi sungai, penghijauan di sepanjang DAS kelekar, bahkan pemberian beasiswa, pembangunan sejumlah fasilitas umum, dan serta beberapa ‘kemenangan kecil’ lainnya.

Organisasi lingkungan di tingkat lokal yang mendampingi masyarakat Prabumulih kala itu adalah Solidaritas Peduli Lingkungan Prabumulih (SPLP). Organisasi ini telah dibubarkan setahun sejak tuntutan masyarakat dipenuhi Pertamina. Organisasi di tingkat regional di antaranya, Yayasan IMPALM, WALHI Sumatera Selatan, dan LBH Palembang. Sementara di tingkat nasional dan internasional, kasus ini mendapat dukungan dari sejumlah organisasi di antaranya, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Friends of the Earth, Mining Advocacy Network, dll.

Dengan tanpa menihilkan peran organisasi-organisasi tersebut, kemenangan masyarakat Prabumulih dalam kasus Sungai Kelekar juga merupakan bukti kekuatan suara rakyat.

Selain 3 contoh kasus di atas, masih ada serangkaian bukti lain yang memperlihatkan bahwa suara rakyat adalah kekuatan utama di Prabumulih.

Dalam banyak kasus perburuhan, ketenagakerjaan, gerakan buruh menorehkan keberhasilan tersendiri. Walaupun belum sampai pada tingkatan yang luar biasa, misalnya mendorong terbitnya peraturan daerah yang melindungi hak-hak buruh di Prabumulih, aksi-aksi buruh yang didampingi oleh Serikat Buruh Bersatu Prabumulih (SBBP), berhasil memperjuangkan kasus-kasus pemutusan hubungan kerja dan hak-hak normatif, serta pelanggaran dalam hal pengupahan.

Di sisi lain, suara rakyat Prabumulih juga pernah berhasil mencatatkan proses penerimaan calon pegawai negeri sipil yang jujur sebagai persoalan penting. Isu ini diusung oleh Mulan Komunitas pada tahun 2005. Mulan Komunitas juga turut andil dalam gerakan pendidikan pemilih menjelang Pemilu 2004.

Barangkali masih banyak lagi gerakan-gerakan masyarakat sipil di Kota Prabumulih yang belum terekam dalam tulisan singkat ini.

Potensi atau Ancaman?
Gerakan masyarakat sipil yang bermunculan di Prabumulih sebenarnya mencerminkan adanya inisatif warga kota Prabumulih untuk berpartisipasi membangun kotanya. Berarti, ini sama sekali bukan berarti ancaman. Pemerintah Kota Prabumulih harus melihatnya sebagai potensi.

Komponen-komponen masyarakat sipil perlu dilibatkan dalam proses pembangunan. Pelibatan mereka ditampung dalam sebuah proses fasilitasi agar inisiatif dan kehendak mereka dapat diakomodasi, disalurkan, dan dimanfaatkan demi kemaslahatan bersama. Fasilitasi di sini sama sekali tidak berarti pemberian fasilititas atau pemberian ‘proyek-proyek’. Tetapi berarti memberikan tempat atau ruang agar ‘suara-suara’ yang didengungkan beragam komponen masyarakat sipil menjadi sumbangsih dalam pembangunan. Mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi terhadap program pembangunan yang dilakukan pemerintah kota.

Kemana Gerakan Masyarakat Sipil Prabumulih Semestinya Bermuara?
Disadari atau tidak, suara rakyat yang bergema dari beragam gerakan masyarakat sipil di kota Prabumulih, diincar oleh banyak pihak. Terutama, tentu saja, menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang akan berlangsung tak sampai satu tahun lagi.

Komponen masyarakat sipil, sesegera mungkin harus menyadari potensinya. Ia harus mampu mengambil tempat dan berpartisipasi dalam pembangunan. Sekali lagi, partisipasi disini bukan berarti ‘meminta proyek’ dari pemerintah kota atau dari pihak yang didukung.

Partisipasi berarti mengambil ruang untuk terlibat dalam perencanaan anggaran, penyusunan peraturan-peraturan daerah, mupun melakukan kritik membangun dan evaluasi terhadap pencapaian pembangunan yang sedang atau pun telah dilakukan oleh pemerintah kota.

Momentum terdekat untuk menguji apakah pemerintah kota memberikan ruang partisipasi bagi masyarakat Prabumulih adalah menjelang berakhirnya masa jabatan walikota dan wakil walikota Prabumulih. Komponen masyarakat sipil Prabumulih sedianya sudah mulai mengumpulkan catatan kegagalan dan catatan keberhasilan pasangan pemimpin kota ini dalam 5 tahun masa jabatannya sebagai bahan evaluasi.

Di samping itu, komponen masyarakat sipil Prabumulih mesti mawas diri terhadap tindak-tanduk para kandidat yang akan muncul dalam pertarungan PILKADA. Jangan sampai dimanfaatkan untuk kepentingan sesaat. Komponen masyarakat sipil dapat mengambil peran dalam pendidikan pemilih (voter education). Maksudnya, memberikan pendidikan kepada masyarakat kota Prabumulih sehingga memiliki kesadaran kritis dalam memilih calon walikota maupun calon wakil walikota yang akan datang.

Salah satu yang dapat menjadi sasaran pendidikan adalah meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menolak jual-beli suara atau politik uang (money politic), sebagaimana ditengarai marak pada proses Pemilu Legislatif 2004. Masyarakat harus disadarkan bahwa suara yang mereka berikan lebih mahal ketimbang satu karung beras ‘Cap Rangkong’.

No comments:

Post a Comment

Silakan Komentar, tapi jangan nyampah :D

banner8.gif