Sunday, August 26, 2007

Duku [bagian terakhir]

Duku [Bagian Terakhir]
Cerita Pendek K. Usman

(Bagian sebelumnya)

Selanjutnya para sepupuhku rebutan naik pohon yang tingginya 11 sampai 20 meter itu.pohon-pohon duku memang menyulai daerah yang lembab di atas ketinggian sekitar 650 meter di atas permukaan laut.

Biasanya, usai panen dilanjutkan dengan makan bersama lesehan di tikar. Sekitar tikar ditetesi kakek dengan air tembakau supaya pacat, si lintah darat tidak mengganggu. Di dearah lembab memang banyak sekali pacat. Gigitannya menimbulkan rasa gatal. Pacat dengan rakus mengisap darah dengan moncongnya yang lunak.

Kakekku dari pihak ayah itu mewariskan sistem tentang keadilan dalam keluarga. Usai panen, tiap kepala keluarga mendapat jatah sama besarnya untuk dibawa ke rumah masing-masing. Jadi, tidak seperti orang lain, anak perempuan mendapatkan sebagian, anak laki-laki dua bagian. Bagi Kakekku, kasih sayang wajib diberikan sama besarnya kepada setiap anak, termasuk pembagian duku. Tanpa banyak bicara, tapi dengan keteladanan. Kakekku mewariskan sistem warisan dalam keluarganya, atau keturunannya.

Setelah kakek berpulang, disusul nenek, sistem itu diubah Paman Sub, Si Bungsu yang pemalas, nakal, dan rajin menikah.
Berulang kebun-kebun duku warisan Kakek-Nenek dia ijonkan kepada pedagang duku dari kota propinsi. Duku masih hijau sudah dijual. Hasil penjualannya ditilep Paman Sub. Para kakak memusuhi sampai mengutuknya. Tapi, ayah, selaku Si sulung tidak ikut-ikutan adik-adiknya mengutuk. Entah karena kutukan, entah memang nasib Paman Sub buruk, dia terserang bisul di pinggang kanan. Bisul itu memcah dan lama-lama menjadi lubang dalam yang mengeluarkan nanah. Dasar Paman Sub malas berobat, disamping ketiadaan biaya karena dia miskin di dusun, beliau meningal dalam usia muda, meninggalkan seorang anak perempuan dan dua anak laki-laki.

Apa yang ditinggalkan Paman Sub? Antara lain kedua kebun duku, yang di Laham, dan yang di seberang sugai Lematang telah dia jual. Para ahli waris Kakek-Nenek ribut. Penengah sudah tidak ada, setelah ayah berpulang dalam usia 80 tahun.

”Hai, mikirin apa, Bung Gindo?!” teriakan Mimin membuyarkan kenanganku tentang dua kebun duku warisan kakekku di dusun kelahiran.
Mimin menarik-narik jaket kulit butut kesayanganku. Jaket kulitku itu dilemparkannya ke keranjang sampah, seakan sama sialnya dengan duku Palembang palsu di keranjang sampah itu. ”Mana duku Palembang yang diinginka anak kita, hah?” lanjutnya dengan suara melengking. Tak kudengar suaranya merdu bila menyanyikan tembang-tembang Sunda.

”Masih menunggu kabar dari banyak orang,” aku tergagap menjawab. ”Usahaku sudah maksimum, Miminku cantik.” aku mencoba merayu. Tap dia merengut dan kembali ke ranjang.

Sampai hari kelahiran anak pertamaku, bayi perempuan yang kami beri nama Putri, gagal total aku mendapatkan duku Palembang. Gemetar tubuhku menunggu di luar kamar persalinan. Begitu dokter Han muncul dengan senyum ramanya, segera kutanya, apakah anak pertamaku ngiler?

”Nggak tuh,” jawab dokter Han sambil mengeleng.

Alhamdulillah, aku mengucap dalam hati, dan terus berdoa, semoga sampai Putri remaja, dan tua tidak mengeluarkan iler, sepert yang kutakutkan selama ini.[selesai]

[Cerpen ”Duku” karya ”Ayah” K. Usman ini diambil dari Kumpulan Cerpen K. Usman: Setelah Musim Jamur. Diterbitkan oleh Yayasan Romansa Jakarta (Cetakan pertama, 2001). Cerpen ini sendiri pernah dimuat di Harian Kompas, 20 Agustus 2000)



No comments:

Post a Comment

Silakan Komentar, tapi jangan nyampah :D

banner8.gif